Sejarah
Muhammadiyah
Muhammadiyah
didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November
1912 oleh Muhammad Darwis, yang kemudian dikenal dengan KHA Dahlan.
Beliau
adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai
pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud,
beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak
hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya
berdasarkan Qur`an dan Hadits. Oleh karena itu, beliau memberikan pengertian
keagamaan di rumahnya di tengah kesibukannya sebagai Khatib
dan pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat
ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman
dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga
dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke
luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisasi kegiatan tersebut maka didirikanlah Persyarikatan Muhammadiyah. Kini Muhammadiyah telah ada diseluruh
pelosok tanah air.
Di samping memberikan
pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada
kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut Sidratul
Muntaha. Pada siang
hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk
anak-anak yang telah dewasa.
KH
A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat
itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke
11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan saat ini menjadi Muktamar 5 tahunan.
Sejarah
Singkat Muhammadiyah
Bulan
Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau 18 November 1912 M merupakan momentum penting lahirnya
Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di
Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus
pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan
yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai
Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti
”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk
menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad.
Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian
sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung
organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad
saw, yaitu Islam. Tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai
yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya
dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian
ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat
Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada
awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran
dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi
pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang
kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di
Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada
ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru
Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta
interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para
pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri
Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide
dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah
organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil
interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan
masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R.
Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa
Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada
sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan
menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus
oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan
setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran
Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus
sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib
Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu
Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat
istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah
memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia
pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi
Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan
Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk
mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang
didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan
dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang
dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang
mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam
tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman
Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah
agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat
Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai
Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan
dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah
bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah
sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan
pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten
Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang
kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914.
Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan
ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal
Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun
lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di
Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran
Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk
Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada
anggauta-anggautanya.”
Terdapat
hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata
”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan
kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode
Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun
1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten
tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu: Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran
Igama di Hindia Nederland, dan
Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama
Islam kepada lid-lidnya.
Dalam
pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung
arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam
kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang
sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang
murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk
mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang
maju dan menggembirakan.
Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal
Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga
terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya
Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat,
”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah
Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar
Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943,
1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas
Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami
perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan
keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila,
dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah
menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat
utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan
tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD
Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan
itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai
pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran
dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk
kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam
lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat
Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui
tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah,
mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan
mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang
Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai
langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung
Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai
berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam
dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah
dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat,
serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk
kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat
”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran
agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai
Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan
”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu
hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36).
Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan
perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren
kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan
menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum.
Langkah
ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan
generasi terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam
saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai
Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan
pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling monumental
dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian
melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini
dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena
Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min
Allah” (hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam
memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal”
yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai
bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat
Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen, tetapi dengan cara yang
cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka
dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya
kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan
kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat
Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang
inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini
misalnya beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di
masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi
tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan
perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai agar
perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di
masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan
kaum perempuan. Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru
Islam lain, yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain
(mukti Ali, 2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam
yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari
pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini
tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang
sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian
melahirkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang
didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69) telah menampilkan Islam
sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala seginya”. Artinya, secara
Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah
semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat
dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam
akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup
para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan
dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh
sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu
harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah,
tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan
menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir
teoritik dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan
tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan
hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang
sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus
mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat
Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak
dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah
tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu
sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan?
sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa
model pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur,
tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan
Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai
masalah kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan
cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan
atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat
Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara
lain:
1. Umat Islam tidak memegang teguh
tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik,
bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan
yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan
sinar kemurniannya lagi;
2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di
antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan
suatu organisasi yang kuat;
3. Kegagalan dari sebagian
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena
tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam
alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis,
berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
dan
5. Karena keinsyafan akan bahaya yang
mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan
misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di
kalangan rakyat. (Junus Salam, 1968: 33).
Karena
itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena
alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di
Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin
Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan
pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar
(H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
Kendati
menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan
yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun
penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus mengabaikan
gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang
didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amannya sungguh
merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini tentu tidak dapat
dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal dalam
gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai
Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan
dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap
mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di
Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26), seorang antropolog dari
Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an,
bahwa: ”Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara,
pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya
di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar
dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil
kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan
dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus
cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh
negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah
ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang
murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah
piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah
sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan
keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya,
mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara
terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran
Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam
yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan
keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam
keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori
kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam
pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan
melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik
dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah
Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia
dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena
baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan
Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan,
tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui
organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai
oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti
lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin
informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara
cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat,
instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Memformat
gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga
bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang
selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah mâ lâ
yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib, bahwa jika suatu urusan tidak akan
sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih
mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem
organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam
pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya
“sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan
mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan
dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah
dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan
Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran
iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak
hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara
parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis
untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan
“humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi”
(pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai
agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau
Modernisme Islam di Indonesia.
Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah
Pendidikan
barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX
sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya,
sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi
masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan
profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap
pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial
sekaligus produk orang kafir.
Sememara
itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi
bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang
telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas
politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan
pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan
politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara
umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan
kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari
agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis
formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat
berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk
pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki
orang Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan
India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah
kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada
posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih
tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad
XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat
dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri
masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul di banyak wilayah.
Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara
itu pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri,
dan perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut.
Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di
daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi
yang telah terbentuk sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks
ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal
swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan
perubahan ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar
penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil
mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar,
akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi
menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga para pengusaha industri
pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih
murah di pasar lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing
ketat dengan pedagang asing yang terus mendominasi perdagangan lokal, regional,
maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa
tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah
berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam
bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang
tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat
pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi
atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi
yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan
yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan
dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus
bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap
saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi
secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi
kelompok elit penduduk pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk
pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan
tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini
terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga
dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam, yang menjadi pendukung
utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan
anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan
informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi,
sebenarnya ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping
dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap
lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat
secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi
yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan
kepada penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok
intelektual dan profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun
memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan
kolonial. Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya
terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi kemudian
mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun
struktur yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap
berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah satu
realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo
didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar,
tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada
unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung
maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan
melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi
baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial
yang dulu terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah
perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia
Secara makro perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX
ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara
yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya
telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan
imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim
sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi
ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik
yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun
sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi
kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang bersumber pada
Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah,
khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu
oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga ijtihad tidak
dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi
sumber ajaran hanya
diajarkan
pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari
oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada
masalah khilafiyah dan furu'iyyah sering muncul dalam masyarakat Muslim, akibatnya muncul
berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak
pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di
kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti:
Jamaludin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad
bin Abdul Wahab. Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang
diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan
pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya,
Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid,
dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga
pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan
wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari
Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang
kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara
itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul
Wahab dalam gerakan Al Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa
Arab Saudi sehingga gerakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah
itu berkembang menjadi besar dan kuat.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam
secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian
ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan internal.
Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui
proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan
kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran
Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Di
Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena
unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam
masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang.
Kondisi seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di
Jawa pada awal abad XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan
cukup tentang Islam dan berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa
orang saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang
ulama di Jawa yang sangat disegani oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan
abad XIX menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang
dari aqidah Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara
sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan
kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga
tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan
beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan kemurnian
dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, di samping
unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti pemahaman dan pengamalan ajar-an
Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat
Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran
yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan
dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik
antarkelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai
"kaum tua" berhadapan dengan "kaum muda" atau antara
kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "antipembaharuan".
Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain
disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan
kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan
di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian idiologis
maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini
dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad
XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes
petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung
melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini.
Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap
sebagai langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang
dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah kolonial
secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan tetapi Islam sebagai ajaran
agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap berada dalam
pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap
Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran,
maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat secara umum.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya
sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian besar umat Islam di
Indonesia pada waktu itu. Pemerintah
kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang
berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok
santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu,
aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi Katholik maupun zending
Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung
tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar
sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan
zending sebagai pendukung utama dalam proses kristenisasi, secara reguler
mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di
tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad
Dahlan muncul sebagai salah seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang
dihadapi masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus.
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama
Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar
Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim,
penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad
Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali
penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
Sebagai anak keempat dari keluarga K.H.
Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang
saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu
yang diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad
Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar
membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan
pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Menurut
cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam
penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan teman-temannya
yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat
barang-barang kerajinan dan mainan.
Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang
bermain layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang semakin
bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu agama
Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh dari
K.H. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua
guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad Darwis belajar ilmu agama
lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus
belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari guru-guru yang lain,
termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia
pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar
ilmu qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada
K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang
mengatasi racun binatang. Menurut
beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad Darwis ini semakin berkembang
cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan
setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang
berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib
dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai
Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia
pelajari selama bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka
cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan
bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah
haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah
waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam
Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji,
Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada
kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500
setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya
diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan untuk
memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya
untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun
1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan
Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru ketika ia
menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal,
Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist
pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari
Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri
Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara
reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan,
termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang
telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku yang
ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi
ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara
lain: Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan
Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum, Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al
-Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah,
Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah
al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan
Atha Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam
di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama.
Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih
kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam
hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan
mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang-orang tua. Apabila
ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan pelajaran
sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan terhadap
kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam memberikan pelajaran agama Islam.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat
dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi
dengan berbagai kelompok dalam dunia
Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga
sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang
cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di
serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran
agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang
melakukan piket.
Ahmad
Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti
persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak
begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar
karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka
pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk
menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para ulama yang sudah
dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada satu malam pada
tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota
Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik
keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah
mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung sampai waktu
subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara
diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis
putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah
kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya,
Kanjeng Kyai Penghulu H.M.
Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari
orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah
kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau milik keluarganya pada
tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang
tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah
dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat
perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja
ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu
juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau
tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh
saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis
petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji
kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping
sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung
para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain
seperti: ilmu falaq, tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal
dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa
Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama
Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja, dan orang tua yang
telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya
Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi
kelompok-kelompok tertentu, seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja
yang berlangsung setiap malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada
diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya
sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan,
kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad
XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan
perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain
seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik,
Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di
tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum
cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara
tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat,
terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau
keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial.
Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini
dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal maupun formal antara Ahmad
Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair,
maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama
dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal
organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto,
seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan
dr. Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di
Ketandan Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan
dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat
anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta
walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak
mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo melalui
pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan resmi, Ahmad
Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa,
melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam
kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun
1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang
banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah
orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi
pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang cara berorganisasi dan
mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak
terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi
secara modern di kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang
kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan
lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang
baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan
pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan
satu organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad
Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan
masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun
anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama
Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah
acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi
tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik
perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri
dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik
di antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang
tertarik pada masalah agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang
pada saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua
orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para
siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan
izin. Pelajaran agama Islam di sekolah
guru milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya
dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.
Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam
secara umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran
yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian para
siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran
agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa
orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering datang ke rumah
Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya maupun melakukan diskusi
lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman
berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa
Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu
itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang
penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara
pribadi mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan pengajaran
ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan Ahmad Dahlan
menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti
yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk
kepada para santri yang belajar di Kauman maupun penduduk Kauman secara umum.
Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan ada yang secara tegas
menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan
dengan tradisi dalam agama Islam.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar
kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan
dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan
lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama
Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang
siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m
dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan sendiri
oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara
itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan
dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis dibuat dari kayu suren.
Delapan
orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-anak
yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah
tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya
kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum
berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat
sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk
sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke
rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia
terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan
juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam
bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan
dengan anggota dan pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool
Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu
adalah: Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang
menjadi guru di Kweekschool Jetis dan sangat membantu Ahmad Dahlan
mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan
menjadi pengurus Budi Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang
penyelenggaraan sebuah sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala
sekolah di Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk
meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah
teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu
juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman
serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap
hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo,
organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu
pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh
sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan
mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat
tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad
Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi
rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar
semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada
tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian
dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai
lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam
kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan
Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnya ide dan
pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di samping
kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting
suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para pendukung,
termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa Kweekschool yang biasa
datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah
tersebut tidak hanya diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh
suatu organisasi supaya sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad
Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide
pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan orang-orang
yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah di Kauman,
terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweekschool
Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan
dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad
Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di
Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat
berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya
mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan,
tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan
secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi
baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad
Dahlan, akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan
didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar
pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo
akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun
1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih
intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan
merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo
dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan
dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu,
akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan
pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan
pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran
dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu
di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama
"Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir
Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota
Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri
dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir
zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung
Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M.
Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal
Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda
terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan
kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada
tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah
didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang
Yogyakarta akan membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda
agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum.
Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah
diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang dihadiri
oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan
kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu
oleh Budi Utomo secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran
dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad
SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan
agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu:
Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul
Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota.
Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang
beragama Islam.
Delapan
orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-anak
yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah
tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya
kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum
berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat
sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk
sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke
rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di samping ia
terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan
juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam
bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan
dengan anggota dan pengurus Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool
Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu
adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang
menjadi guru di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan
sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan
menjadi pengurus Budi Utomo Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang
penyelenggaraan sebuah sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala
sekolah di Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk
meminta subsidi kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah
teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu
juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman
serta para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada
setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo,
organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu
pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh
sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan
mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan
dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus
memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar
semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada
tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.
Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian
dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai
lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam
kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan
Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnya ide dan
pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di samping
kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting
suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para pendukung,
termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang biasa
datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah
tersebut tidak hanya diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh
suatu organisasi supaya sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad
Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide
pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan
orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah
di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid
Kweekschool Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan
dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad
Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala
sekolah di Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo
yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya
terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada
persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan
dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan
beberapa hal yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah
organisasi, yaitu: pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di
Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad
Dahlan, akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan
didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar
pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi
Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir
1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih
intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan
merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo
dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan
dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu,
akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan
pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan
pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran
dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu
di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama
"Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan nama nabi terakhir
Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota
Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri
dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir
zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung
Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M.
Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal
Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda
terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah
seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah
melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8
Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu
juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda agar pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan
hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan
yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para
pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu
oleh Budi Utomo secara resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran
dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad
SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan
agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu:
Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul
Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota.
Sementara itu, para anggota hanya dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang
beragama Islam.
Eksistensi
dan Kisar Gerakan Muhammadiyah
Indonesia
memasuki abad ke-20 adalah sebuah negeri yang muram. Setelah runtuhnya
kekuasaan-kekuasaan monarkis di Nusantara, negeri ini terbelenggu oleh
kolonialisme. Hampir segeap sendi kehidupan terpasung secara semena-mena
bersamaan dengan munculnya berbagai praktik kolonialisasi yang sengaja merampas
dan mencekeram hak dan hajat hidup kaum pribumi. Sejarah panjang kolonialisme
itu berlangsung berabad-abad, sadis dan serakah, serta menimbulkan getir trauma
dan cedera historis yang cukup parah. Indonesia terkoyak tanpa daya, dimana
sebagian besar rakyatnya terbenam ke dalam kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan.
Di
rentang sejarah gelap kolonialisme itulah umat Islam Indonesia turut menanggung
akibatnya. Sebagai entitas masyarakat mayoritas di Nusantara, umat Islam pun
menjadi obyek dan sasaran kolonialisasi yang paling diperhitungakan karena terbukti
kerap menyulut perlawanan rakyat secara terbuka dan bahkan besar-besaran. Di
antara peristiwa perlawanan dimaksud adalah pecahnya Perang Suci: perlawanan
umat Islam paling berdarah-darah sepanjang sejarah yang digerakkan dan
dipelopori oleh barisan ulama Aceh. Tak lepas berkait dari itu, peristiwa
penting yang menandai perlawanan umat Islam terhadap kolonialisme Belanda
sebelumnya juga terjadi secara berturut-turut di berbagai belahan Nusantara,
yakni Perang Padri di Minangkabau yang dipelopori Imam Bonjol dan Haji Miskin
(1821-1838), Perang Sabil di Jawa yang dipelopori Pangeran Dipenogoro
(1825-1830), serta Pemberontakan Tjilegon di Banten yang dipelopori Hadji Wasit
dan Tubagus Hadji Ismail (1888).
Rentetan kecamuk perang itu meninggalkan
warisan kerugian materil dan personil serdadu yang sangat besar bagi Belanda,
sekaligus menyisakan tak sedikit kekhawatiran yang kemudian secara perlahan
memaksa Belanda menerapkan strategi baru kolinialisasi kaum pribumi yang
dikenal dengan istilah Politik Etis. Era ini ditandai oleh hadirnya misionaris
ulung bernama Christiaan Snouck Hurgronje, seorang dan satu-satunya orang
–dalam sebuah tesis Alfian-- yang bertanggungjawab sebagai arsitek Kebijakan
Politik Islam.
Kebijakan demikian itu, sengaja diberlakukan Belanda
untuk menampilkan ”dua wajah” baru kolonialisasi, dan pada saat yang sama
memerangi Islam di Indonesia dengan cara-cara yang tampak etis. Yaitu,
menguatkan gelombang westernisasi pendidikan dan budaya di lapisan elite dan
terpelajar, sedangkan di lapisan ”kedap perubahan” yang dibentengi ulama
tradisionalis, Belanda menggairahkan kembali tradisi Hindu-Islam yang sudah
berumur satu abad, dimana hal itu berakibat langsung serta sekaligus memicu
maraknya praktik takhayul dan bid’ah (sebagai bentuk penyimpangan agama) di
tangah-tengah kehidupan umat Islam Indonesia.
Meskipun Belanda menuai hasil cukup gemilang
dari proses awal kebijakan Politik Etis, namun hasil pahit yang sebelumnya
tidak pernah diharapkan dari ekses proses kebijakan itu selanjutnya adalah
lahirnya benih-benih nasionalisme Indonesia meodern. Benih-benih nasionalisme
modern (perlawanan melelaui pintu perdagangan dan pendidikan) itu sudah terasa
secara diam-diam melalui surat-surat Kartini dari Jepara kepada Stella
Zeehandelaar di Belanda pada kurun 1899-1903, sampai kemudian gerakan
nasionalisme versus Kolonialisme itu berlanjut cukup terbuka sejak Budi Utomo
berdiri 1908 dan memulai sekolah Kweekschool di Jetis Yogyakarta.
Sungguh pun tak dapat dipungkiri, kebijakan
liberal di sektor ekonomi yang diberlakukan secara formal sejak 1870, telah
memberi kesempatan yang luas tidak hanya kepada pemerintah kolonial, melainkan
juga kepada pihak asing lainnya untuk melakukan esksploitasi tanpa batas
terhadap sumber-sumber ekonomi di belahan-belahan bumi Indonesia. Perkebunan
dan pertambangan milik pemerintah maupun perusahaan swasta asing bermunculan
dan merambah cepat dari Sabang sampai Merauke. Realitas ini berbeda dengan masa
sebelumnya, dimana eksploitasi hanya terkonsentrasi di sepanjang Pulau Jawa.
Sejalan dengan itu, merebaknya aktivitas
berdasarkan sistem pasar dan penggunaan uang sebagai standar transaksi, dengan
sendirinya menimbulkan komersialisasi dan monetisasi dalam kehidupan ekonomi
masyarakat secara umum. Perluasan infrastruktur dan kesempatan ekonomi baru itu
tentu saja mempunyai implikasi positif terhadap ekonomi kaum pribumi, namun
pada saat yang sama, tekanan ekonomis terhadap bumiputra juga semakin kuat
sebagai akibat dari kenaikan biaya hidup, penarikan pajak tunai yang kian
beragam, nilai riil pendapatan yang rendah, maupun karena petani demikian
teralienasi dari tanah sebagai faktor produksi utama sehingga tingkat hidup
mayoritas masyarakat semakin rendah.
Ada dual-economic system (dalam kajian
Boeke) yang akhirnya berlaku dalam perekonomian Indonesia di masa kolonial,
bahwa di satu sisi terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama para
kapitalis Eropa) yang melakukan aktivitas ekonomi secara kapitalis dan integral
dengan pasar global, sementara di sisi lain terdapat sebagian besar kelompok
sosial (mayoritas pribumi) yang hidup dalam subsistence economy. Yaitu, hidup
secara pas-pasan hanya untuk kebutuhan keseharian tanpa sentuhan pendidikan
yang memadai, sehingga terpaksa harus hidup bodoh dan terbelakang.
Tak
terbantah, dominasi kalangan Eropa dan elit feodal pribumi dalam dunia
pendidikan menyebabkan rakyat yang mayoritas muslim tak cukup terakomodasi
dalam sistem pendidikan modern, sementara kebekuan sistem pendidikan
tradisional (pesantren) semakin meninggalkan ketidakberdayaan di pusaran arus
sosial yang semakin jauh bergerak cepat ke arah modernisasi. Lebih menyedihkan,
kesadaran sebagai bangsa terjajah tidak banyak muncul di kalangan masyarakat
akibat pembodohan sistemik yang dilakukan pemerintah kolonial. Elit feodal
pribumi, bahkan, tidak banyak tergugah dan tercerahkan.
Di tengah kemuraman mayoritas kaum pribumi
itu, secara tak terduga muncullah sekelompok kecil masyarakat pribumi yang
perlahan bergerak sebagai pengusaha industri dan pedagang yang kuat. Katakanlah
mereka misalnya pengusaha industri batik, rokok, kerajinan, pedagang perantara,
dan pedagang keliling di daerah-daerah seperti Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta,
Kudus, Pariaman, Palembang, dan Banjarmasin. Kelompok ini adalah kelas menengah
pribumi dan merupakan sebagian kecil dari wiraswastawan pribumi yang mampu
bersaing pada tingkat lokal dengan para pengusaha dan pedagang Eropa, Cina,
Arab, dan India yang lebih dulu mendominasi sektor-sektor ekonomi. Sebagian
besar kelas menengah pengusaha dan pedagang pribumi ini memiliki latar belakang
agama Islam dan ikatan sosial yang kuat, satu hal yang sebenarnya paradoks
dengan mayoritas pribumi yang umumnya Muslim.
Di Jawa, misalnya, mereka tinggal di kawasan
tertentu seperti daerah yang dikenal sebagai Kauman atau Sudagaran. Daerah ini
kebetulan dekat dengan pusat perdagangan, dan karenanya sebagian besar warganya
berdagang atau menjadi pengusaha. Kondisi ekonomi mereka cukup mapan dan
memberi mereka kesempatan untuk bergaul secara lebih kosmopolit, baik melalui
ibadah haji ke Mekah, mengirimkan anak-anak mereka ke berbagai pesantren atau
lembaga pendidikan lain di Indonesia maupun di luar negeri (seperti Saudi,
Mesir, dan Eropa). Dengan demikian, interaksi mereka dengan masyarakat dan
bangsa lebih luas berlangsung secara reguler dan berkesinambungan. Hal itu
berlangsung, tidak hanya dalam konteks ekonomi dan pendidikan, melainkan juga
dalam aspek sosial, kultural, dan politik. Interaksi mereka terutama dengan
masyarakat Muslim dunia (Timur Tengah), termasuk dengan warga Indonesia yang
sudah lama bermukim di Mekkah, membuka kesempatan masuknya unsur-unsur baru ke
dalam masyarakat Muslim di Indonesia.
Kyai Haji Ahmad Dahlan, satu di antara
masyarakat kelas menengah pribumi itu. Meskipun sosoknya, barangkali hanyal
berupa ”noktah kecil” dalam kancah sejarah Indonesia yang menjalani hidup
sekadar berdagang batik dan menjadi Khatib Amin di Masjid Agung Kasultanan
Ngayogyakarta. Namun ternyata, kehadiran dan kiprah KH Ahmad Dahlan tidak hanya
setampak noktah kecil itu, melainkan hadir dengan gagasan besar yang
mencerahkan di tengah kemuraman nasib bangsa yang masih meringkuk dalam
belenggu kolonialisme.
Lewat kosmopolitanisme pergaulannya di jalur
perdagangan, perjalanan haji dan studinya di Makkah, Kyai Haji Ahmad Dahlan
lantas kerap terlibat dalam renungan-renungan serius, sampai akhirnya berpikir
keras untuk mengambil jalan baru perubahan sosial demi tumbuh dan berkembangnya
Islam berkemajuan: sebuah reaksi segar untuk mengatasi keterbelakangan kaum
pribumi, serta pembodohan dan pemiskinan akibat kolonialisasi yang terus
berlangsung secara sistemik. Pikiran keras dan renungan serius itulah yang
melahirkan gagasan-gagasan besar, sampai akhirnya memicu kelahiran Muhammadiyah
pada tanggal 18 November 1912.
Refleksi
Perjuangan Satu Abad Muhammadiyah
Gagasan
Muhammadiyah bermula dari sebuah perenungan, dan berlanjut dalam pergumulan
pemikiran yang cukup panjang, semata-mata untuk melahirkan sebuah gerakan
dakwah dan tajdid yang mampu mengakomodasi desakan kebangkitan di era gelap
kolonialisme. Tentu, tak sedikit hadangan dan tantangan yang membelintang harus
dilalui sebelum kemudian Sang Penggagas, Kyai Haji Ahmad Dahlan, bisa mengajak
sejumlah warga Kauman secara resmi mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 18
November 1912. Tersebutlah sejumlah nama-nama yang menyejarah dalam ”dokumen
abadi” Muhammadiyah sebagai Hoofd Bestur (pengurus pusat) yang pertamakali diajukan
pada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Yaitu, Mas Ketib Amin Hadji Ahmad
Dahlan (Ketua), Mas Penghulu Abdullah Sirat (Sekretaris), Raden Ketib Tjandana
Hadji Ahmad (Anggota), Hadji Abdul Rahman (Anggota), Raden Hadji Sarkawi
(Anggota), Mas Gebajan Hadji Muhammad (Anggota), Raden Hadji Djailani
(Anggota), Hadji Anis (Anggota), Mas Tjarik Hadji Muhammad Pakih (Anggota).
Seperti kutipan Dat het Register der Besluiten
van den Gouverneur-General, No. 81, Muhammadiyah baru dinyatakan de jure dan
sah bergerak pada tanggal 22 Agustus 1914 di Residensi Yogyakarta. Meskipun
secara de fakto, ikhtiar Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis perubahan tradisi
beragama, serta keberaniannya mengambil langkah mengembangkan pola pendidikan
baru dalam ranah kaum santri yang masih lekat dengan feodalisme Islam
--sekaligus memacu peran sosial jamaah yang tidak populis-- di Kauman kala itu,
jauh sebelumnya telah berlangsung. Dan, geliat ikhtiar itu menandai denyut nadi
gerakan Muhammadiyah. Dengan demikian, dapat dikata, ruh gerakan Muhammadiyah
di tengah-tengah kehidupan umat Islam sudah ditiupkan jauh hari sebelum Raden
Dwijosewoyo dari Budi Utomo naik mimbar dan membacakan besluit berdirinya
Muhammadiyah.Dimana hari itu juga, Rechtspersoonlijkheid Muhammadiyah diumumkan
di Loodge Gebouw Malioboro.
Panta rei, kehadiran Muhammadiyah di kancah
pergerakan kebangsaan dan khazanah keagamaan tak cukup sekadar untuk dicatat.
Namun juga, terbukti mampu membuka gerbang baru bagi Islam keindonesiaan dan
ikut serta menentukan merah-biru perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri.
Sebagai salah satu organisasi masyarakat yang kini telah berhasil mengukuhkan
posisinya menjadi organisasi Islam modern terbesar di dunia, Muhammadiyah tidak
hanya teruji oleh sejarah, tetapi juga turut menguji sejarah. Bahwa sejarah
bangsa Indonesia memang membutuhkan kehadiran sebuah gerakan seperti
Muhammadiyah yang bergiat secara intens dan konsisten dalam ranah dakwah,
pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan kebodohan.
Rentang kiprah Muhammadiyah yang demikian
panjang sejak kali pertama digerakkan, hingga mejelang seratus tahun usianya,
telah banyak mewarnai sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan
Muhammadiyah terbukti mampu menghasilkan sosok tokoh dan pemimpin besar yang
turut andil dalam memastikan arah yang dituju oleh dan untuk masa depan bangsa
Indonesia. Para tokoh dan pemimpin Muhammadiyah itulah, yang secara sukarela
membaktikan hidupnya mengemudikan dan mengawal Muhammadiyah agar tetap
konsisten berpijak pada khittah perjuangannya. Sehingga dapat dipastikan
kehadiran Muhammadiyah bukan hanya sekadar rutinitas sejarah. Melainkan juga:
jawaban atas dialektika dan tuntutan zaman yang terus bergerak.
Ciri
Perjuangan Muhammadiyah
Dengan
melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak
kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya,
aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali
bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat
atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah. Secara jelas dapat diamati dengan
mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan
Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut.
1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam
2. Muhammadiyah adalah gerakan dakwah
Islam amar ma’ruf nahi munkar
3. Muhammadiyah adalah gerakan tajdid
A. Muhammdiyah sebagai Gerakan Islam
Telah
diuraikan dalam bab terdahulu bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH
Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur)
terhadap Alquranul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang
mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan
sebagai faktor penunjang atau faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya
yang sangat memadai pada setiap mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika
menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret,
yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan
sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran
KH Ahmad Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang
didalammya tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat
Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari
latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa
sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi,
dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya
tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip
ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan
dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya
tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran
Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah
Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati,
dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
B. Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
Ciri
kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri
yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan
dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu
bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal
dari pendalaman KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali
surat Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah
Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah
(menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai
medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat
bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar
dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan
sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah
sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti
itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha
diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana
dakwah Islamiyah.
C. Muhammadiyah sebagi Gerakan Tajdid
Ciri
ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan
Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri
sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama
Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus
memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran
Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali
oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu
memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik,
khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak
akidah dan ibadah seseorang.
Sifat
Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas
pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel
pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai
pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam
memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir
miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda,
cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan
sebagainya.
Untuk
membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut
purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi
(reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi
dan Gerakan Reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar